Last Kisses
Matanya tak seceria biasanya, bintang-bintang bersinar yang selaku penuhi netranya kini redup, hilang entah kemana.
Lionel hanya dapat duduk, merenungi semuanya. Apa salah ia seperti ini? Apa salah ia harus lepas kekasihnya seperti ini?
Jujur saja, jika bisa pun, Lionel tak akan pernah lepaskan Adrian. Tidak akan pernah.
Tapi keadaan memaksanya.
Sedari kecil, Lionel lihat bagaimana perilaku para rakyat, Lionel yang kini berumur 21 tahun paham bagaimana ‘pemikiran’ rakyat yang ada di sana.
Lionel tak pernah dikenalkan, identitasnya tidak pernah diperjelas oleh sang ayah. Entah apakah ia putra ayah dan ibunya? atau ia bukan? Lionel tidak pernah tahu.
Bahkan data dirinya di negerinya ini hanya sebatas nama dan tanggal lahir saja yang ada. Tiada nama ayah maupun ibu.
Ia bisa saja berkata bahwa ia adalah putra dari penasehat kerajaan ayahnya, tapi bagaimana bisa ia lakukan itu apabila istri dari sang penasehat sendiri tak pernah terima dirinya.
Lionel terima luka itu sedari kecil, ia harusnya terbiasa. Tapi mengapa di dua puluh satu tahun kehidupannya pun, ia tak pernah mendapat bahagianya?
Ah, tidak.
Ia dapat bahagianya. Ia mengenal Adrian, kekasihnya. Adrian yang selalu berikan ia bahu untuk menangis, berikan ia jari untuk selalu hapus air mata, dan beri ia sebuah pelukan hangat di kala ia sedih, dikala ia merasa tak berguna.
Lantas, apakah Lionel juga harus melepasnya? Bagaimana ia bisa lepas bahagianya?
Tapi kembali, Lionel tidak mau egois. Demi bahagianya, ia tak boleh merusak kebahagiaan orang lain.
Adrian tak akan pernah tenang apabila bersama dia. Aterniland penuh dengan rakyat yang berpikiran tradisional, mereka punya banyak aturan. Salah satunya, pentingkan identitas sebagai syarat untuk menjadi pasangan.
Apabila saat Adrian menjabat sebagai raja tanpa seorang ratu, mana bisa rakyat akan diam saja? Mereka pun pasti akan berpetisi untuk turunkan Adrian.
Dan lagi, mana bisa Lionel biarkan kerja keras cintanya berakhir begitu saja?
Lionel tenggelamkan wajahnya di lipatan tangan. Menangis, menangis, dan menangis. Hanya itu yang dapat ia lakukan.
Lagipula kenapa? Kenapa hidupnya harus seperti ini? Bagaimana pula Adrian bisa jatuh cinta pada dirinya yang seperti ini?
Akan lebih baik Adrian jatuh cinta pada seorang yang lebih baik dari dirinya.
“Lionel.”
Dengar panggilan itu, Lionel bersumpah, hatinya sakit. Kembali ia dibawa ke masa dimana ia pertama kali kenal Adrian. Di saat Adrian dingin ke padanya, dan perlahan lelaki itu mulai menerimanya.
Seluruh kenangan yang ada bersama Adrian sungguh selalu akan ada di hatinya.
“Louie..” Lionel buru-buru hapus air matanya dan berdiri, ia berbalik menatap Adrian yang berdiri di belakangnya.
Lelaki manis itu berikan senyum tipis, tatap wajah kekasihnya yang menjadi salah satu alasan ia jatuh sedalam dalamnya. “Louie,” katanya sebut nama itu sekali lagi.
Dan jujur, Adrian yang melihat senyum itu menahan nafasnya. Suaranya tertahan, ia tak dapat keluarkan sepatah katapun.
Ia tahu, apapun yang dilakukan Lionel ini demi kebaikannya, ia pun sadar apa yang akan terjadi padanya apabila Lionel tak kunjung diperjelas identitasnya.
Tapi Adrian pun juga pikirkan kekasihnya. Biarpun ia nanti baik-baik saja, apakah Lionel juga akan tetap baik? Apakah lelaki manis itu akan tetap tebarkan senyum ceria dan senyum penuh bahagianya itu apabila ia tak ada di sisinya?
“Do not ever.. end us, Lionel. Aku nggak bisa tanpa kamu.”
Air mata Lionel menetes dengar itu. Ia tersenyum pada Adrian. “Louie, sayangnya Io, sayangnya Lionel. Aku juga nggak akan bisa tanpa kamu. Nggak akan pernah bisa, sayang. Tapi, Louie. Aku yakin. Time would heal. Seiring berjalannya waktu.. hiks.. seiring berjalannya waktu, kamu bakal terbiasa sama pasangan kamu nanti.”
Adrian tak mau tatap netra kekasihnya. Ia tatap danau di balik tubuh Lionel, berusaha keras tahan air matanya.
“Louie, Louie, Louie,” Lionel panggil nama itu tiga kali, ia genggam tangan si lelaki yang sedari tadi berada di sisi tubuhnya, mengepal menahan perasaan sakitnya. Lionel usap tangan itu, ia taruh di pipinya yang basah.
Buat Adrian menatapnya.
Tatapan Adrian pun tak jauh beda. Terluka. Lionel sadari itu.
“You know the consequences, right?” tanya lelaki manis itu pelan.
“Kamu tahu, kalau apapun yang kita usahain, sekeras apapun kita mencoba, kalau sampe sekarang papa pun masih nggak mau perjelas keberadaan aku, kamu juga bakal ikut jatuh sama aku. Aku nggak mau.”
“Dan kamu biarin aku pergi? Biar aku cuma diam aja saat kamu jatuh nanti? Io—”
Lionel hapus setitik air mata yang keluar di sudut mata Adrian. “No. Louie, mau tahu sesuatu nggak?”
Adrian hanya menatap cintanya dengan pandangan bertanya. Lionel usap tangan Adrian yang ada di pipinya kemudian tersenyum.
“Cinta aku ke kamu itu udah sebesar itu, Louie. Biarin diri kamu maju, biarin diri kamu bahagia, aku pun juga akan bahagia. Setidaknya biar kalaupun jatuh, biar aku sendiri aja, jangan berdua. One is better than two, right?”
Adrian menggeleng, “Aku nggak mau kamu jatuh.”
Lionel menarik nafasnya kemudian kembali tersenyum. “Then, bahagia, sayang.”
“Bahagiaku sama kamu, Io.”
Tangisan si lelaki conor pecah, ia tutup wajahnya dengan kedua tangan dan menangis di sana, untuk pertama kalinya, di hadapan cintanya. “Bahagiaku sama kamu, seorang.”
Lionel turut menangis melihat lelakinya menangis tersedu. “Louie..”
Dan detik berikutnya ia masuk ke dalam pelukan hangat lelaki itu, “Bahagiaku cuma kamu. Gimana bisa aku bahagia kalau aku jauh dari bahagia aku, sayang? Tell me. Bilang. Gimana?”
Lionel masih dengan berderai air mata, balas pelukan kasihnya. Ia berbisik, “Bahagia itu luas, Louie. Luas. Bahkan lihat kamu bahagia aja, aku ikut bahagia. Atau cuma lihat bintang di varuna aja, aku bahagia, Sayang. Aku yakin kamu pun juga akan bahagia.”
“You said you're happy when you're seeing the stars. But you're my star.”
“Louie... tolong. Pikirin diri kamu, masa depan Conor. Bagaimana keluarga kamu kalau nanti kamu dapat berita jelek? Mereka juga sakit, Sayang. Mereka sayang kamu, aku juga, maka dari itu aku tahu gimana perasaan mereka.”
Lionel jauhkan dirinya dan tangkup pipi Adrian. “Menyerah aja ya, Sayang? Dunia juga nggak akan pernah restui kita buat bersama.”
Selepas hening beberapa lama, Adrian akhirnya hapus air matanya. Ia tatap wajah kekasihnya sekali lagi, menyelami netranya, melihat semua hal yang lengkapi wajah ayu cintanya ini.
“You want us to end?” tanyanya tatap netra Lionel.
“Lou—”
“Yes or no.”
“Louie—” Lionel bersumpah, ia pun tak ingin berakhir. Ia yakin, tatapan matanya saat ini pun ragu, tidak jelas. Dan ya, Adrian sadari itu.
“Jawaban kamu cuma dua, Io. Iya atau enggak. You have a chance to stop us from break up.“
Iya Lionel punya kesempatan. Tapi tidak, ia tak akan biarkan ini lebih lama lagi atau semuanya akan kacau.
“Yes..” jawabnya pelan, menunduk.
“Lihat mataku, jawab tanpa ragu.”
Lionel memejamkan matanya sejenak, ia mendongak dan kemudian buka matanya. “Iya, Louie.. ayo menyerah.”
Mendengar itu, Adrian pejamkan mata sejenak. Ia tak pernah mengira, hubungannya bersama Lionel akan berakhir hari ini.
Ia mau salahkan semesta, tapi apa daya? Ia pun tak punya kuasa. Ia hanya dapat berdoa, setidaknya jika semesta berbaik hati pada mereka, biarkan nanti mereka bersama. Entah diakhir hari nanti, atau di dunia yang lain, dunia selanjutnya.
“Kalau gitu, Sayang, boleh aku cium kamu, buat terakhir kali?”
Lionel tersenyum dan mengangguk, “Yes, you can, Lou.”
Adrian mendekat, ia tangkup pipi Lionel dan kemudian bawa lelakinya untuk mendekat juga.
Seiring ia beri kecupan lama di puncak kepala Lionel, air matanya kembali jatuh. Pun sama dengan milik Lionel.
Tapi mereka biarkan itu.
“I love you, Little Io,” bisiknya parau selepas ia hentikan ciumnya di dahi Lionel.
Lionel tatap wajahnya dan kemudian tersenyum tipis. Ia berikan juga kecup di pipi Adrian yang basah oleh air mata, namun sekali lagi, Lionel tak peduli.
“I love you more, Louie. Bahagia ya? Aku bakal bahagia bangeeet, bisa lihat kamu mimpin rakyat Conor nanti. Jadi pemimpin yang baik, jangan biarin Aterniland kembali kaya dulu, ya?”
Adrian mengangguk, “Jangan nangis lagi, jangan sedih. Louie harus ketawa terus! Okay?!”
Lagi-lagi Adrian hanya mengangguk, “Kalau gitu, aku ijin pamit ya, Lou? Udah malam, nanti aku dimarahin papa lagi.”
Adrian tak menjawab, ia hanya lepas jubahnya dan sampirkan itu di bahu Lionel, “Malam ini dingin, Sayang. Jangan sakit.”
“Alriiight, Giant Louieee! Kalau gitu, see you?”
“See you, Io.” Lionel tersenyum dan kemudian berlalu dari sana.
Sepeninggalan Lionel dari sana, Adrian lemas, kakinya mendadak tak punya kekuatan. Air matanya turun perlahan sembari tatap danau di hadapannya.
Semua kenangan miliknya dan Lionel kembali terputar, bagai kaset rusak. Bagaimana Lionel tersenyum saat ia berhasil melempar batu hingga jauh, bagaimana Lionel merengek dikala ia menggodanya, dan bagaimana Lionel menatapnya dengan penuh cinta, penuh kasih sayang.
Sakit rasanya.
Begitupun dengan Lionel yang tak jauh di sana. Berdiri di balik pohon besar, menangis sembari tatap punggung kasihnya yang juga bergetar hebat.
“Louie, kisah kita nggak akan berakhir di sini. Aku janji, aku nggak akan biarin kita di dunia yang lain kaya gini.”
“Louie and his Little Io will always be happy. Always. Let's meet each other in another universe and live happier.”
“Little Io love you very much, Louie.”